Teater Getar: Ciri dan Arah

Ketika saya menulis ini, tepat ketika jam setengah empat menjelang subuh. Malam tadi, saya berkunjung ke UKM tetangga, UKM teater Getar. Saya menghadiri undangan untuk menonton teater hasil dari teman-teman anggota baru Teater Getar. Saya benar-benar menikmati dengan penampilan-penampilan mereka. Disana saya disajikan tiga cerita dari masing-masing kelompok. Walau dengan sedikit kesalahan disana-sini khas anggota baru, tapi cerita yang ingin mereka bawakan tetap tersampai secara jelas. Saya sangat mengapresiasi karya-karya mereka.

Di akhir sesi, kita melakukan diskusi tentang pementasan yang telah selesai. Mereka mendapat komentar pertama dari alumni Teater Getar: Candra Thungthung. Beliau sekaligus pemateri dan pengarah dari proses pra-pertunjukan. Beliau sangat terbuka. Metode pengajaran yang dibawakan juga khas anak-anak teater, yaitu keterbukaan dan pengakuan diri. Keterbukaan dan pengakuan diri ini terjadi pada saat Pak Thungthung mengolok-olok peserta secara gamblang tanpa ada sindiran. Ini adalah ciri khas dari pengajaran di teater getar. Sekaligus menjadi bukti keterbukaan dan pengakuan diri, bahwa inilah yang ingin ditampilkan sebenarnya dari diri. Keterbukaan dan pengakuan diri. Saya rasa ini juga kunci dari persatuan yang mereka  bangun, keterbukaan satu sama lain dan pengakuan terhadap diri mereka menjadi penguat.
 

Setelah itu, beberapa ketua dari teater-teater tetangga memberikan sedikit sambutan dan komentar mengenai pentas yang sudah berjalan. Lalu sampailah pada kesempatan LPM DinamikA, UKM yang saya ikuti, mendapat kesempatan. Dari dua orang yang mewakili, saya ditunjuk untuk membrikan komentar. Komentar saya kurang lebihnya seperti ini:
 

Saya tidak paham secara keseluruhan mengenai dunia teater, tetapi disini teater memiliki dua dimensi: pertunjukan dan sastra. Di LPM DinamikA kita membahas tentang sastra, maka yang ingin saya komentari adalah tentang sastra dalam pertunjukan yang sudah berlangsung. Dari ketiga cerita yang diberikan, saya mendapat satu kesamaan. Dimana pada setiap cerita menceritakan tentang persaingan dalam meraih hal-hal duniawi, materi, tergambar dari konflik-konflik cerita yang mereka bawakan. Cerita pertama tentang perebutan harta warisan, cerita kedua tentang perebutan kekuasaan, dan cerita ketiga tentang pengangguran yang akhirnya menjadi pencopet. Ketiga cerita ini menunjukkan pada pencarian duniawi, tentang konflik-konflik dalam pencarian duniawi. Konflik atau masalah ini adalah masalah klasik yang terus-menerus dan kemudian menjadi masalah kontemporer di masyarakat kita. Inilah yang diangkat dari teman-teman anggota baru teater getar. Mereka ingin menunjukkan konflik-konflik klasik berupa perebutan hal-hal duniawi, yang sampai sekarang pun masih masih menjadi masalah yang tak kunjung selesai. Dan saya sangat mengapresiasi karya teman-teman ini.
 

 Begitulah kiranya komentar saya pada saat itu. Pementasan itupun menjadi cerminan dari berkembangnya dunia sastra di teater getar, bahwa mereka (anggota baru khususnya) masih berkutat pada sastra realis dimana imajinasi yang liar masih belum keluar dari otak mereka. Mereka masih membayangkan adegan-adegan yang rasional atau sesuai realitas untuk menjadi pilihan mereka. Saya tidak ingin mengatakan bahwa selera mereka buruk, tetapi itulah tingkatan budaya yang mereka capai. Mereka sudah berkembang dan selalu berkembang seiring lahirnya karya-karya baru.

Kamis, 27 Desember 2018

Comments

Popular Posts